happy Halloween

Recent Posts

Mari satukan Langkah Kita
English French German Spain Italian Dutch

Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google

pengertian kalender jawa

1. Sejarah Penanggalan Jawa Islam
Dalam Encyclopaedia Britannica disebutkan bahwa sistem kalender yang berkembang di dunia sejak zaman kuno sampai era modern yaitu:
1. Kalender Sistem Primitif (Primitive Calendar Systems).
2. Kalender Barat (Western Calendar), meliputi Kalender Romawi, Kalender Julian, Kalender Gregorius dan Kalender Perpertual.
3. Kalender China (Chinese Calendar).
4. Kalender Mesir (Egyptian Calendar).
5. Kalender Hindia (Hindia Calendar) disebut juga Kalender Saka.
6. Kalender Babilonia (Babylonia Calender).
7. Kalender Yahudi (Jewish Calender).
8. Kalender Yunani (Greek Calendar).
9. Kalender Islam (Islamic Calendar).
10. Kalender Amerika Tengah (Middle American Calendar).
Kesepuluh sistem kalender di atas memiliki sisstem dan cara-cara yang berbeda dalam menentukan penanggalan serta mempunyai aturan-aturan tersendiri pula. Tetapi pada dasarnya semua jenis kalender tersebut berpangkal pada Solar Calendar, Lunar Calendar dan Luni-Solar Calendar. Solar Calendar yaitu sistem kalender yang mempertahankan panjang tahun sedekat mungkin dengan kala edar Bumi mengelilingi Matahari (tahun tropis). Contoh kalender jenis iniadalah Kalender Miladiah (Julian maupun Gregorian). Sedangkan Lunar Calendar adalah sistem kalender yang acuan perhitungannya didasarkan atas pergerakan Bulan. Contohnya Kalender Hijriah. Adapun yang dimaksud dengan Luni-Solar Calendar adalah sistem kalender yang menggunakan periode Bulan mengelilingi Bumi untuk satuan Bulan, namun untuk penyesuaian musim dilakukan penambahan satu bulan atau beberapa hari (interkalasi), setiap beberapa tahun. Contoh Kalender jenis ini adalah Kalender China (imlek) dan Kalender Yahudi.
Dari berbagai jenis penanggalan tersebut ada beberapa yang masih terus-menerus diapakai oleh masyarakat dunia. Di Indonesia sendiri hanya terdapat beberapa jenis penanggalan yang dipakai masyarakat Indonesia. Berikut akan diulas sedikit mengenai penanggalan hijriyah dan saka, karena penanggalan jawa islam sebenarnya berasal dari gabungan dua jenis penanggalan ini.
1. Penanggalan Hijriyah
Kalender ini dinamakan kalender hijriyah karena pada tahun pertama kalender ini adalah tahun di mana terjadi peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah, yakni pada tahun 622 Masehi (M). Namun, penentuan kapan dimulainya tahun 1 Hijriyah baru dilakukan enam tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW atau 17 tahun setelah hijrah, yakni semasa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab.
Pada sistem kalender hijriyah, sebuah hari atau tanggal dimulai ketika terbenamnya matahari di tempat tersebut. Kalender hijriyah dibangun berdasarkan rata-rata silkus sinodik bulan yang memiliki 12 bulan dalam setahun. Dengan menggunakan siklus sinodik bulan, bilangan hari dalam satu tahunnya adalah (12 x 29,53059 hari = 354,36708 hari). Hal inilah yang menjelaskan hitungan satu tahun kalender hijriyah lebih pendek sekitar 11 hari dibanding dengan penghitungan satu tahun dalam kalender masehi.
Satu bulan adalah satu bulan sinodis, yaitu waktu antara dua ijtima’ yang menurut penelitian para ahli astronomi lamanya 29 hari 12 jam 44 menit 2,5 detik. Dalam 1 tahun hijriah terdapat 12 bulan, yang berarti terdapat 354 hari 8 jam 48.5 menit atau kurang lebih 354 11/30 hari. Dari jumlah hari dalam satu tahun ini, maka disusunlah umur bulan-bulan qomariah secara urfi dengan umur tiap bulan antara 29 dan 30, yaitu:
1. Muharram (30 hari) 7. Rajab (30 hari)
2. Shafar (29 hari) 8. Sya’ban (29 hari)
3. Rabi’ul Awwal (30 hari) 9. Ramadhan (30 hari)
4. Rabi’ul Akhir (29 hari) 10. Syawal (29 hari)
5. Jumadil Awal (30 hari) 11. Dzulqo’dah (30 hari)
6. Jumadil akhir (29 hari) 12. Dzulhijjah (29 hari)
Namun dalam hitungan ini masih terdapat koreksi, yaitu angka 11/30 hari yang belum diperhitungkan. Hal ini kemudian disempurnakan dengan menambah 11 hari dalam daur 30 tahun. Kesebelas tahun tersebut disebut tahun kabisat hijriyah yang jatuh pada tahun ke-2, 5, 7, 10, 13, 15, 18, 21, 24, 26, dan ke-29.
2. Penanggalan Saka
Kalender saka adalah sebuah kalender yang berasal dari India. Kalender ini merupakan sebuah penanggalan syamsiyah qomariyah (candra surya) atau kalender luni solar. Tidak hanya digunakan oleh masyarakat Hindu di India, kalender saka juga masih digunakan oleh masyarakat Hindu di Bali, Indonesia, terutama untuk menentukan hari-hari besar keagamaan mereka.
Sistem penanggalan saka sering juga disebut sebagai penanggalan Saliwahana. Sebutan ini mengacu kepada nama seorang ternama dari India bagian selatan, Saliwahana, yang berhasil mengalahkan kaum Saka. Tetapi, sumber lain menyebutkan bahwa justru kaum Saka di bawah pimpinan Raja Kaniskha I yang memenangkan pertempuran tersebut. Peristiwa tersebut terjadi pada bulan Maret tahun 78 M.
Sejak tahun 78 M itulah ditetapkan adanya tarikh atau perhitungan tahun saka, yang satu tahunnya juga sama-sama memiliki 12 bulan dan bulan pertamanya disebut caitramasa atau Srawanamasa, bersamaan dengan bulan Maret tahun masehi. Sejak itu pula, kehidupan bernegara, bermasyarakat, dan beragama di India ditata ulang. Oleh karena itu, peringatan Tahun Baru Saka bermakna sebagai hari kebangkitan, hari pembaharuan, hari kebersamaan (persatuan dan kesatuan), hari toleransi, dan hari kedamaian sekaligus hari kerukunan nasional.
Sejak abad ke-8 masehi, di Jawa sudah ada Kerajaan Hindu-Jawa yang menggunakan perhitungan waktu berdasarkan sistem kebudayaan asli, kebudayaan Hindu, dan kebudayaan baru. Perhitungan waktu pada masa itu telah menggunakan sistem angka tahun menurut Saka, terpengaruh kebudayaan Hindu.
Tahun Saka dihitung menurut perputaran matahari. Jumlah hari dalam sebulan pada tahun Saka berjumlah 30, 31, dan 32 atau 33 hari pada bulan terakhir, yaitu bulan Saddha. Sehingga setahun berjumlah 365 dan 366 hari, terbagi dalam 12 bulan, yaitu:
1. Srawanamasa, kurang lebih bertepatan dengan bulan Juli-Agustus atau bulan Jawa/Bali = Kasa
2. Bhadrawadamasa, kurang lebih bertepatan dengan bulan Agustus-September atau bulan Jawa/Bali = Karo
3. Asujimasa, kurang lebih bertepatan dengan bulan September-Oktober atau bulan Jawa/Bali = Katiga
4. Kartikamasa, kurang lebih bertepatan dengan bulan Oktober-November atau bulan Jawa/Bali = Kapat
5. Margasiramasa, kurang lebih bertepatan dengan bulan November-Desember atau bulan Jawa/Bali = Kalima
6. Posyamasa, kurang lebih bertepatan dengan bulan Desember-Januari atau bulan Jawa/Bali = Kanem
7. Maghamasa, kurang lebih bertepatan dengan bulan Januari-Februari atau bulan Jawa/Bali = Kapitu
8. Phalgunamasa, kurang lebih bertepatan dengan bulan Februari-Maret atau bulan Jawa/Bali = Kawolu
9. Cetramasa, kurang lebih bertepatan dengan bulan Maret-April atau bulan Jawa/Bali = Kasanga
10. Wesakhamasa, kurang lebih bertepatan dengan bulan April-Mei atau bulan Jawa/Bali= Kasepuluh/Kadasa
11. Jyesthamasa, kurang lebih bertepatan dengan bulan Mei-Juni atau bulan Jawa = Dhesta atau Bali = Desta
12. Asadhamasa, kurang lebih bertepatan dengan bulan Juni-Juli atau bulan Jawa Sadha atau Bali Desta

3. Penyusunan Kalender Jawa Islam
Kedatangan agama Islam di tanah Jawa membawa bermacam-macam produk budaya dari pusat penyebaran Islam. Di antara produk budaya yang dibawa Islam ketika itu adalah sistem penanggalan berdasarkan revolusi bulan terhadap bumi (qomariah), yang dikenal dengan penanggalan hijriyah. Sesungguhnya, masyarakat Jawa sendiri sudah punya sistem penanggalan yang mapan, yaitu penanggalan saka.
Dalam realitanya, umat islam pada masa pra penanggalan Jawa Islam, mengggunakan dua sistem penanggalan untuk keperluan mereka sehari-hari. Sebagian dari mereka menggunakan kalender Hijriyah untuk menentukan jadwal ibadah dan hari-hari besar islam. Namun di sisi lain adapula yang masih menggunakan sistem penanggalan jawa (saka) yang merupakan warisan adat dari nenek moyang mereka kaum Hindhu, untuk menentukan hari baik dan kegiatan sehari-hari, seperti transaksi jual beli atau yang lainnya. Hal ini terbukti dengan adanya penamaan nama-nama pasar sesuai dengan pasaran yang mereka anut, seperti Pasar Legi, Pasar Kliwon, dan Pasar Wage. sistem penanggalan Jawa akan tetap dipakai oleh umat Islam Jawa karena di dalamnya terdapat kepercayaan-kepercayaan mistis. Teknologi informasi saat ini malah semakin menguatkan fungsi klasifikasi Pancawara itu. Contohnya, iklan yang ditayangkan di televisi lebih banyak iklan tentang kepercayaan Jawa, seperti Primbon, Ramal, Manjur, dan lainnya.
Hal inilah yang mendorong seorang ahli falak bernama Sultan Agung (1613-1645), yang merupakan sultan Mataram Islam ketiga (yang bergelar Senapati Ing Alaga Sayiddin Panatagama Kalifatullah) untuk mengakulturasikan (menggabungkan) penanggalan Jawa (saka) yang berdasarkan sistem kalender matahari dan bulan (kalender lunisolar) dengan penanggalan hijriyah. Hal ini direalisasikan dengan mengubah sistem kalender di Jawa, disesuaikan dengan kalender Hijriah. Tindakan Sultan Agung tersebut tidak hanya didorong oleh maksud memperluas pengaruh agama Islam. Tetapi didorong pula oleh kepentingan politiknya. Dengan mengubah kalender Saka menjadi kalender Jawa yang berdasarkan sistem qomariyah seperti kalender Hijriah, Sultan Agung bermaksud memusatkan kekuasaan agama kepada dirinya. Di samping itu, tindakan mengubah kalender pun mengandung maksud untuk memusatkan kekuasaan politik pada dirinya dalam memimpin kerajaan. Karena pada saat itu sering terjadi pemberontakan di kalangan rakyatnya dan juga kurangnya rasa kepercayaan rakyat kepada Sultan Agung. Ide untuk menggabung kedua jenis penanggalan tersebut didukung oleh para ulama dan abdi dalem, khususnya yang menguasai ilmu falak atau perbintangan. Maka diciptakanlah kalender Jawa yang disebut juga kalender Sultan Agung atau Anno Javanico.
Menurut Prof Dr MC Ricklefs, dalam artikelnya “Pengaruh Islam terhadap Budaya Jawa Terutama pada Abad ke XIX”, upaya percampuran itu terjadi pada tahun 1633 M. Ricklefs mengisahkan, pada tahun 1633 M, Sultan Agung berziarah ke pesarean (kuburan) Sunan Bayat di Tembayat. Disebutkan dalam Babad Nitik, Sultan Agung diterima oleh arwah Sunan Bayat. Sultan Agung yang masih berada di pesarean Tembayat diperintahkan untuk mengganti kalender Jawa. Sebelum itu, kalender saka (yang berasal dari kebudayaan Hindu) adalah kalender yang masih dipakai dalam lingkungan keraton. Kemudian, kalender itu diubah sistemnya mengikuti aturan kalender qamariah yang berisi bulan-bulan Islam. Maka, terciptalah kalender baru yang unik, yaitu kalender Jawa-Islam.
Perubahan kalender di Jawa itu dimulai hari Jum’at Legi, tanggal 1 Sura tahun Alip 1555 bertepatan dengan tanggal 1 Muharam tahun 1043 Hijriah, atau tanggal 8 Juli 1633. Kebijakan Sultan Agung itu dipuji sebagai tindakan seorang muslim dengan kemahirannya yang tinggi dalam ilmu falak. Kalender Sultan Agung adalah suatu karya raksasa.

3. Konsep Penanggalan Jawa Islam
Pada mulanya sistem penanggalan jawa islam berasal dari percampuran antara sitem penanggalan saka (jawa) dan hijriyah (islam). Hal inilah yang mengakibatkan penanggalan ini kemudian disebut dengan nama penanggalan jawa islam.
Namun uniknya dalam perhitungan kelender jawa-islam hasil gabungan antara dua sistem, saka dan hijriyah, menghasilkan suatu sistem penanggalan yang menggunakan sistem lunar dalam hitungan bulannya, namun hitungan tahunnya meneruskan tahun jawa (saka), yaitu dimulai dari tahun 1555 jawa, dan terdapat hitungan pekan, yaitu harian dan pasaran, sebagai peninggalan dari adat umat islam sebelumnya yang merupakan peninggalan umat hindhu yang masih mengakar erat pada diri masyarakat jawa.
Berikut beberapa aturan dalam penanggalan jawa Islam:
1. Koreksi
Berbeda dengan sistem hisab urfi hijriyah, yang terdiri atas 345 11/30 hari, maka dalam perhitungan kalender jawa islam merupakan sistem perhitungan lain, yaitu 345 3/8 hari. Adanya perbedaan jumlah hari dalam setahun ini, sangat terpengaruhi oleh adat budaya jawa, yang menginginkan hal-hal yang simple dalam urusan sehari-hari, termasuk dalam sistem penanggalan mereka. Akar masalah dari perbedaan ini adalah adanya kelebihan 8 jam 48.5 menit dari 354 hari dalam setahun. Yang didapat dari hitungan waktu antara dua ijtima’ (satu bulan sinodis) yang lamanya 29 hari 12 jam 44 menit 2,5 detik. Jika dalam satu tahun terdapat 12 bulan, maka hitugan hari dalam satu tahun adalah 29 hari 12 jam 44 menit 2,5 detik dikali dengan 12, menghasilkan 354 hari 8 jam 48,5 menit (354 11/30).
Kelebihan waktu dalam satu tahun (8 jam 48,5 menit) ini dinilai terlalu rumit bagi umat islam di jawa yang terkenal tradisional dan tidak terlalu suka akan hal-hal yang rumit. Sehingga kemudian Sultan Agung menggenapkan hitungan waktu dalam satu tahun urfi hijriyah (354 hari 8 jam 48,5 menit) menjadi 354 hari 9 jam. Penggenapan 48,5 menit menjadi 1 jam ini diterapkan untuk mempermudah hitungan hari dalam setahun bagi umat islam jawa yang dinilai terlalu rumit sebelumnnya.
Namun ternyata penggenapan ini, yang semula bertujuan untuk mempermudah hitungan bagi umat islam jawa membawa efek lain terhadap hasil hitungan dalam satu tahun. Efek perubahan jumlah hari ini mengekibatkan adanya siklus 8 tahun yang terdiri dari 3 tahun kabisat dan 5 tahun basithoh. Di sisi lain, hal ini juga menimbulkan perbedaan jumlah hari dalam periode 120 tahun, di mana sistem perhitungan jawa islam ini lebih cepat satu hari dalam kurun waktu 120 tahun. Hal ini didapat dari selisih hitungan waktu dari dua sistem tersebut.
Dalam sistem hijriyah urfi jumlah hari dalam 1 tahun adalah 354 hari 8 jam 48,5 menit, sedngkan dalam sistem jawa islam jumlah hari dalam satu tahun adalah 354 hari 9 jam. Berikut proses perhitungannya:



Jadi sesuai dengan perhitungan di atas maka tiap tahun selisih dari sistem jawa islam dengan hisab urfi adalah 1/120 hari. Bila kelebihan ini dikalkulasi selama 120 tahun maka akan didapat kelebihan 1 hari selama kurun waktu 120 tahun. Oleh karena itu dalam sistem kalender jawa islam terdapat koreksi pengurangan 1 hari dalam waktu 120 tahun. Koreksi pengurangan 1 hari dalam 1 tahun ini dimulai dari tahun 1626 J dengan cara mengurangi hitungan hari dan pasaran pada awal tahun tersebut. Berikut beberapa koreksi dalam sistem jawa islam.
1. Tahun 1555 - 1626 J (71 tahun) adalah Ajumgi (tahun alip jum’at legi)
2. Tahun 1626 - 1746 J (120 tahun) adalah Amiswon (tahun alip kamis kliwon)
3. Tahun 1746 - 1866 J (120 tahun) adalah Aboge (tahun alip rabo wage)
4. Tahun 1867 - 1986 J (120 tahun) adalah Asapon (tahun alip selasa pon)
Tahun amiswon adalah tahun alip yang awal hari dan pasarannya adalah kamis kliwon. Koreksi atas tahun ajumgi yang sebelumnya, hal ini didapat dengan cara mengurangi hari dan pasaran pada kaidah sebelumnya. Dalam hal ini adalah ajumgi, tahun alif jum’ah legi dikurangi satu hari dan 1 pasaran, sehingga menjadi tahun alif kamis kliwon atau lebih dikenal dengan Amiswon. Begitu seterusnya mengikuti pola pengurangan 1 hari dalam 120 tahun sebagai koreksi agar hitungan tahun kalender jawa islam bisa sesuai dengan kalender hijriyah sistem urfi.

2. Siklus
Dalam sistem penanggalan jawa islam dikenal adanya sistem siklus 1 windhu, berasal dari kebudayaan hindhu, 1 windhu = 8 tahun. Jadi selain adanya kaidah asapon, amiswon dll, di dalam kalender jawa islam juga dikenal adanya nama siklus 1 windhu yang diadopsi dari istilah windhu ketika masyarakat islam masih menggunakan kalender saka yang berasal dari kebudayaan agama hindhu. Munculnya siklus 1 windhu ini ditengarai oleh adanya kelebihan 3/8 hari dalam satu tahun, sehingga bila dikalkulasikan akan terdapat kelebihan 3 hari dalam 8 tahun. Maka kemudian dibuatlah metode zawaliyyah sistem, yaitu sistem pengambilan letak 3 hari dari 8 tahun untuk kemudian diletakkan pada 3 tahun dari 8 tahun sehingga terdapat 3 tahun kabisat dan 5 tahun basithoh. Hitungan dimulai dengan menjumlahkan sisa 9 jam pada setiap tahun ke tahun berikutnya hingga diperoleh data seperti berikut ini:







Adapun untuk menetapkan 3 tahun kabisat dari 8 tahun basithoh adalah dengan metode zawaliyah sistem, yaitu suatu hari mulai dihitung sejak zawal, yang dalam hitungan jam adalah jam 12. Sehingga yang dihitung sebagai tahun kabisat adalah hitungan jam yang lebih besar dan paling dekat dengan jam 12. Sehingga diperoleh aturan kabisat seperti dalam tabel di atas.
Kemudian untuk memasukkan budaya islam ke dalam kalender ini ditetapanlah nama-nama tahun yang berasal dari huruf arab, namun tidak mengikuti urutan a ba ja dun, tetapi mengikuti pola angka huruf jumali ( وَجَأ ٌهَجَزْدَ بٌ ) berdasarkan nama hari pada tanggal 1 suro tahun alipnya. Sehingga ada istilah jim awal dan akhir, pengambilan nama awal dan akhir ini berdasarkan urutan kaidah ( وَجَأ ٌهَجَزْدَ بٌ ) namun pengambilan tahun awal tetap dimulai dari Alif, sehingga tersusunlah siklus 8 tahun dengan nama-nama arab sebagai berikut:
No. Urutan Tahun Nama Tahun Simbol Jenis Tahun Jumlah Hari
1. Tahun Pertama Alip ا Bashitoh (Wustu) 354 hari
2. Tahun Kedua Ehe هـ
Kabisat (Wuntu) 355 hari
3. Tahun Ketiga Jim Awal ج Bashitoh (Wustu) 354 hari
4. Tahun Keempat Ze ز Bashitoh (Wustu) 354 hari
5. Tahun Kelima Dal د Kabisat (Wuntu) 355 hari
6. Tahun Keenam Be ب Bashitoh (Wustu) 354 hari
7. Tahun Ketujuh Wawu و Bashitoh (Wustu) 354 hari
8. Tahun Kedelapan Jim Akhir ج Kabisat (Wuntu) 355 hari
Untuk mempermudah menghafal dan mengetahui jenis Tahun dalam satu windu (8 tahun) maka disusunlah Nadhom sebagai berikut:
(ا) بوكي (ه) حذ فون (ج) عه فون (ز) ثا فا هيع
(د) تو كي (ب) ميس كييا (و) نين وون (ج) عه كييا
Adapun Untuk menentukan bulan-bulan selanjutnya setelah mengetahui jenis tahun:
رما (جي جيا) فر (لو جي) عول (ففت ليما)
رعو خير (نما) دي وال (فيتو قت) دي خير (روفت)
رجب (لو تلو) بن (مالو) ضان (نم رو) وال (جي رو)
داه (روجي جييا) جه (فت جيا) واشكروا لله
3. Nama Bulan Dan Tahun
Tahun Hijriah adalah termasuk tahun Komariah, yaitu mengikuti perputaran bulan. Dalam satu tahun Hijriah berarti bulan mengitari bumi sebanyak 12 kali. Jumlah hari dalam sebulan pada tahun Hijriah berjumlah 29 dan 30 hari. Sehingga satu tahun Hijriah berjumlah 354 atau 355 hari (bulan Zulhijjah berumur 29 atau 30 hari).
No Bulan Islam Bulan Jawa Hari
1 Muharram Sura
30
2 Shafar Sapar
29
3 Robi’ul Awal Mulud
30
4 Robi’ul Akhir Bakda Mulud
29
5 Jumadil Awal Jumadilawal
30
6 Jumadil Akhir Jumadilakir
29
7 Rojab Rejeb
30
8 Sya’ban Ruwah (Arwah, Saban)
29
9 Ramadhan Pasa (Puwasa, Siyam, Ramelan)
30
10 Syawal Sawal
29
11 Dzulqo’dah Sela (Dulkangidah, Apit)
30
12 Dzulhijjah Besar (Dulkijah)
29/30
Jumlah 354/355

Nama alternatif bulan Dulkangidah adalah Sela atau Apit. Nama-nama ini merupakan peninggalan nama-nama Jawa Kuna untuk nama musim ke-11 yang disebut sebagai Hapit Lemah. Sela berarti batu yang berhubungan dengan lemah yang artinya adalah “tanah”.
Menngenai nama tahun, dipakailah nama angka tahun arab, yaitu
ا ب ج د هـ و ز
Namun urutan yang dipakai adalah pola angka huruf jumali ( وَجَأ ٌهَجَزْدَ بٌ ) berdasarkan nama hari pada tanggal 1 suro tahun alipnya. Sehingga ada istilah jim awal dan akhir, pengambilan nama awal dan akhir ini berdasarkan urutan kaidah ( وَجَأ ٌهَجَزْدَ بٌ ) namun pengambilan tahun awal tetap dimulai dari Alif, sehingga tersusunlah siklus 8 tahun dengan nama-nama arab sebagai berikut:
No. Urutan Tahun Nama Tahun Simbol
1. Tahun Pertama Alip ا
2. Tahun Kedua Ehe هـ

3. Tahun Ketiga Jim Awal ج
4. Tahun Keempat Ze ز
5. Tahun Kelima Dal د
6. Tahun Keenam Be ب
7. Tahun Ketujuh Wawu و
8. Tahun Kedelapan Jim Akhir ج

4. Pembagian Pekan
Orang Jawa pada masa pra Islam mengenal pekan yang lamanya tidak hanya tujuh hari saja, namun dari 2 sampai 9 hari. Pekan-pekan ini disebut dengan nama-nama dwiwara (2 hari), triwara (3 hari), caturwara (4 hari), pañcawara (pancawara) (5 hari), sadwara (6 hari), saptawara (7 hari), astawara (8 hari) dan sangawara (9 hari). Namun pada Zaman sekarang hanya pekan yang terdiri atas lima hari dan tujuh hari saja yang dipakai, walaupun di pulau Bali dan di Tengger, pekan-pekan yang lain ini masih dipakai.
Pekan yang terdiri atas 5 hari (pancawara) disebut sebagai pasaran oleh orang Jawa dan terdiri atas:
1. Kliwon/ Kasih
2. Legi / Manis
3. Pahing / Jenar
4. Pon / Palguna
5. Wage / Kresna/ Langking

Pekan yang terdiri atas 7 hari (Saptawara) disebut sebagai padinan oleh orang Jawa yang terdiri atas:
1. Minggu / Radite
2. Senen / Soma
3. Selasa / Anggara
4. Rebo / Budha
5. Kemis / Respati
6. Jemuwah / Sukra7. Setu / Tumpak/Saniscara




C. Contoh Perhitungan Dalam Penanggalan Jawa Islam
1. Contoh Konversi Hijriyah [1 Muharram Th 1441 H] Ke Kalender Jawa Islam
 Langkah 1: Tentukan Th Jawa !!
Th Hijriah (tahun tam/tahun yang telah sempurna dilewati) + 512 = Tahun Jawa.
Penambahan Angka 512 tahun didapat dari selisih tahun antara tahun jawa islam dan tahun hijriyah. Hal ini disebabkan karena pada awal pemakaian sistem penanggalan jawa islam adalah dimulai dari Jum’at Legi, tanggal 1 Sura tahun Alip tahun 1555 saka yang bertepatan dengan tanggal 1 Muharam tahun 1043 Hijriah. Sehingga secara sederhana kita bisa mencari selisih tahun jawa dan tahun hijriyah, yaitu dengan mengurangkan 1555 J dengan 1043 H. sehingga hasilnya adalah: 1555 – 1043 = 512 tahun.
1440 H + 512 th = 1952 J
 Langkah 2: tentukan jenis kaidah!
Selanjutnya menentukan jenis kaidah dari Tahun jawa yang didapat (1952 J). kaidah yang dimaksud di sini adalah kaidah-kaidah dalam kurun waktu 120 tahun (15 windu). Berikut daftar kaidah yang terbentuk semenjak awal tahun jawa-islam:
1. Tahun 1555 - 1626 J (71 tahun) adalah Ajumgi (tahun alip jum’at legi)
2. Tahun 1626 - 1746 J (120 tahun) adalah Amiswon (tahun alip kamis kliwon)
3. Tahun 1746 - 1866 J (120 tahun) adalah Aboge (tahun alip rabo wage)
4. Tahun 1867 - 1986 J (120 tahun) adalah Asapon (tahun alip selasa pon)
Dari daftar aturan tersebut, maka dapat diketahui bahwa tahun 1952 Jawa termasuk dalam kaidah Asapon (1867 – 1986 J ).
 Langkah 3: tentukan jenis tahun dari 1 windu !
Tahap selanjutnya adalah menentukan jenis tahun dalam siklus 1 windu (8 tahun). Caranya adalah dengan membagi tahun jawa yang didapat dengan angka 8 yang mewakili 8 tahun.
Sehingga hitungannya menjadi
Tahun jawa : 8 = 1952 : 8 = 244 sisa 0
Angka 244 menunjukkan jumlah siklus yang telah dilalui, sedangkan sisa 0 menunjukkan jenis / urutan tahun dalam siklus 1 windu / 8 tahun.
Berikut aturan sisa dalam tahun Asapon [aturan ini hanya berlaku untuk kaidah Asapon (1867 – 1986 J)] :



Jika pembagian tahun dengan 8 bersisa:
a. 0/8 ; berarti tahun Ba, 1 Suro jatuh pada hari Rabu Kliwon
b. 1 ; berarti tahun Wawu, 1 Suro jatuh pada hari Ahad Wage
c. 2 ; berarti tahun Jim Akhir, 1 Suro jatuh pada hari Kamis Pon
d. 3 ; berarti tahun Alip, 1 Suro jaruh pada jatuh Selasa Pon
e. 4 ; berarti tahun Ehe, 1 Suro jatuh pada hari Sabtu Paing
f. 5 ; berarti tahun Jim Awal, 1 Suro jatuh pada hari Kamis Paing
g. 6 ; berarti tahun Ye, 1 suro jatuh pada hari Senin Legi
h. 7 ; berarti tahun Dal, 1 suro jatuh pada hari Sabtu Legi
Keterangan:
Bila sisa pembagian dengan angka 8 menghasilkan angka 0 atau 8, maka tahun tersebut termasuk tahun Ba (urutan tahun ke 6 dari siklus 8 tahun). Sehingga tanggal 1 suro pada tahun Ba ini adalah bertepatan dengan hari Rabu Pasaran Kliwon. Aturan di atas hanya berlaku untuk kaidah Asapon. Adapun untuk menentukan jenis tahun pada kaidah selain asapon, maka cukup menyesuaikan dengan aturan tahun asapon ini, misalnya bila tahun jawa yang didapat termasuk tahun aboge (1746 - 1866 J) maka aturan sisa tersebut tinggal merubah hari dan pasarannya saja, misalnya jika sisa pembagian dengan angka 8 menghasilkan 0/8 maka tahun tersebut termasu tahun Ba. Dan tanggal 1 suro pada tahun Ba ini bertepatan dengan hari = (Rabu – 1) dan pasaran = (Kliwon – 1) = hari Selasa pasaran Wage. Hal ini karena terjadinya koreksi pengurangan 1 hari dari tahun Aboge ke tahun Asapon.
Kesimpulan: Tanggal 1 Muharram Th 1441 H bertepatan dengan hari Rabu pasaran Kliwon tanggal 1 Suro tahun 1952 Jawa Islam.

2. Contoh Cara Menghitung Hari Dan Pasaran Pada Bulan Lain dalam tahun jawa islam. Contoh: Tgl 6 Mulud 1909 J ?
 Langkah 1: Menentukan kaidah
Dengan aturan:
1. Tahun 1555 - 1626 J (71 tahun) adalah Ajumgi (tahun alip jum’at legi)
2. Tahun 1626 - 1746 J (120 tahun) adalah Amiswon (tahun alip kamis kliwon)
3. Tahun 1746 - 1866 J (120 tahun) adalah Aboge (tahun alip rabo wage)
4. Tahun 1867 - 1986 J (120 tahun) adalah Asapon (tahun alip selasa pon)
Maka sesuai dengan aturan tersebut, tahun ini termasuk ke dalam masa asapon (1867–1986 J).

 Langkah 2: tentukan jenis tahun dari 1 windu !
Caranya adalah Tahun Jawa dibagi dengan angka 8.
= 1909 J : 8 = 238 sisa 5
Sisa yang didapat mengikuti aturan asapon dalam penentuan awal 1 suro dalam siklus 8 tahun. Berikut aturan sisa dalam tahun Asapon:
Jika pembagian tahun dengan 8 bersisa:
a. 0/8 ; berarti tahun Ba, 1 Suro jatuh pada hari Rabu Kliwon
b. 1; berarti tahun Wawu, 1 Suro jatuh pada hari Ahad Wage
c. 2 ; berarti tahun Jim Akhir, 1 Suro jatuh pada hari Kamis Pon
d. 3; berarti tahun Alip, 1 Suro jaruh pada jatuh Selasa Pon
e. 4 ; berarti tahun Ehe, 1 Suro jatuh pada hari Sabtu Paing
f. 5 ; berarti tahun Jim Awal, 1 Suro jatuh pada hari Kamis Paing
g. 6 ; berarti tahun Ye, 1 suro jatuh pada hari Senin Legi
h. 7 ; berarti tahun Dal, 1 suro jatuh pada hari Sabtu Legi
= Oleh karena sisa = 5, berarti tahun tersebut adalah tahun Jim Awal (tahun keenam dimulai dari tahun alip), sehingga 1 Suro jatuh pada hari Kamis Paing
 Langkah 3: tentukan hari dan pasaran dari tanggal yang diinginkan!
Setelah diketahui bahwa 1 suro 1909 J jatuh pada hari kamis Paing, Selanjutnya tinggal mencocokkan / mengurutkan hari sesuai dengan perhitungan berikut:
Tgl 6 Mulud 1909 J (Jim Awal)
Bulan Suro = 30 hari
Bulan Safar = 29 hari
Bulan Mulud = 6 hari
Jumlah = 65 hari
Selanjutnya jumlah hari dibagi dengan angka 7 untuk menentukan jenis hari, dan dibagi 5 untuk menentukan jenis pasaran.
Hari Pasaran
65 : 7 = 9 65 : 7 = 9
Sisa = 2 Sisa = 0
Selanjutnya sisa yang didapat tinggal diurutkan sesuai denganhari dan pasaran tanggal 1 suro yang telah didapat 1 suro = Kamis Paing, maka:
Hari = hari ke-2 dimulai dari kamis = Kamis-Jumat
Pasaran = pasaran ke-0 (= ke-5) dimulai dari Paing = Paing-pon-wage-kliwon-legi
Jadi Tgl 6 Mulud 1909 J Adalah Hari Jumat Legi
KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa pada dasarnya masyarakat terutama pengikut Islam Jawa (Kejawen) masih saja mendasarkan pada perhitungan dengan model jawa islam (Asapon) dalam menentukan waktu-waktu yang berkaitan dengan masalah ibadah, termasuk dalam menentukan awal dan akhir ibadah puasa Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri yang sangat terkait dengan sistem perhitungan mereka sehingga menjadikan perbedaan dengan sistem penanggalan islam pada umumnya.
Dari pemakaian konsep di atas, dapat disimpulkan beberapa hal pokok terkait mengenai sistem penanggalan jawa islam, yaitu:
 Penanggalan jawa islam adalah akulturasi antara penanggalan saka dan hijriyah.
 Penggagas penanggalan jawa islam adalah Sultan Agung (1613-1645) yang bergelar Senapati Ing Alaga Sayiddin Panatagama Kalifatullah (sultan Mataram Islam ketiga).
 Penanggalan jawa islam dimulai hari Jum’at Legi, tanggal 1 Sura tahun Alip 1555 bertepatan dengan tanggal 1 Muharam tahun 1043 Hijriah, atau tanggal 8 Juli 1633.
 Penanggalan jawa islam memakai nama bulan arab yang dibahasa-jawakan.
 Jumlah hari dalam setahun adalah 354 hari 9 jam atau 354 3/8 hari.
 Koreksi pengurangan 1 hari tiap 120 tahun.
 Siklus 8 tahun / 1 windu yang terdiri dari 3 tahun kabisat (355) dan 5 tahun basitah (354).

posted under |

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

Total Pageviews

Cari Blog Ini

pesan admin

butir butir waktu tidak bisa di hentikan, tahun tahun berlaku entah kita menginginkanya atau tidak... tapi kita bisa mengingat. apa yang telah hilang mungkin masih hidup dalam kenangan, apa yang kita dengar tidak sesempurna dan sepotong potong, tapi hargailah. mari kita bukalah kenangan yang telah terlupakan itu. yang tersembunyi dalam kabut mimpi yang berada di belakang kita...!!!

Author

Foto Saya
MysteRIO bizarre
Lihat profil lengkapku

    Recent Post

    .-.
    -
    .
    Diberdayakan oleh Blogger.

    Blogger Tricks

    Islamic Calendar

    free counters

    Followers

      Postingan Populer


    Recent Comments