happy Halloween

Recent Posts

Mari satukan Langkah Kita
English French German Spain Italian Dutch

Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google

di balik aksara jawa

Secara garis besar, ada dua konsepsi tentang kelahiran ha-na-ca-ra-ka. Dua konsepsi itu masing-masing mempunyai dasar pandang yang berbeda. Konsepsi yang pertama berdasarkan pandang pada pemikiran tradisional, dari cerita mulut ke mulut sehingga disebut konsepsi secara tradisional. Konsepsi yang kedua berdasar pandang pada pemikiran ilmiah sehingga disebut konsepsi secara ilmiah.

Konsepsi secara tradisional.

Konsepsi secara tradisional mendasarkan pada anggapan bahwa kelahiran ha-na-ca-ra-ka berkaitan erat dengan legenda Aji Saka. Legenda itu tersebar dari mulut ke mulut yang kemudian didokumentasikan secara tertulis dalam bentuk cerita. Cerita itu ada yang masih berbentuk manuskrip dan ada yang sudah dicetak. Cerita yang masih berbentuk manuskrip, misalnya Serat Momana, Serat Aji Saka, Babad Aji Saka dan Tahun Saka lan Aksara Jawa. Cerita yang sudah dicetak misalnya Kutipan Serat Aji Saka dalam Punika Pepetikan saking Serat Djawi ingkang Tanpa Sekar ( Kats 1939 ) Lajang Hanatjaraka ( Dharmabrata 1949 dan Manikmaya ( Panambangan 1981 )

Dalam manuskrip Serat Aji Saka ( Anonim ) dan kutipan Serat Aji Saka ( Kats 1939 ) misalnya diceritakan bahwa Sembada dan Dora ditinggalkan di Pulau Majeti oleh Aji Saka untuk menjaga keris pusaka dan sejumlah perhiasan. Mereka dipesan agar tidak menyerahkan barang-barang itu kepada orang lain, kecuali Aji Saka sendiri yang mengambilnya. Aji Saka tiba di Medangkamulan, lalu bertahta di negeri itu. Kemudian negari itu termasyhur sampai dimana-mana. Kabar kemasyhuran Medangkamulan terdengar oleh Dora sehingga tanpa sepengatahuan Sembada ia pergi ke Medangkamulan. Di hadapan Aji Saka, Dora melaporkan bahwa Sembada tidak mau ikut, Dora lalu dititahkan untuk menjemput Sembada. Jika Sembada tidak mau, keris dan perhiasan yang ditinggalkan agar dibawa ke Medangkamulan. Namun Sembada bersikukuh menolak ajakan Dora dan memperhatankan barang-barang yang diamanatkan Aji Saka.

Akibatnya, terjadilah perkelahian antara keduanya, oleh karena seimbang kesaktiannya meraka mati bersama. Ketika mendapatkan kematian Sembada dan Dora dari Duga dan Prayoga yang diutus ke Majeti, Aji Saka menyadari atas kekhilafannya. Sehubungan dengan itu, ia menciptakan sastra dua puluh yang dalam Manikmaya, Serat Aji Saka dan Serat Momana disebut sastra sarimbangan. Sastra Sarimbangan itu terdiri atas empat warga yang masing-masing mencakupi lima sastra, yakni :

1. Ha-na-ca-ra-ka

2. Da-ta-sa-wa-la

3. Pa-dha-ja-ya-nya

4. Ma-ga-ba-tha-nga

Sastra Sarimbangan itu, antara lain terdapat dalam manuskrip Serat Aji Saka, pupuh VII- Dhandhanggula bait 26 dan 27 sebagai berikut :

Dora goroh ture werdineki

(Dora bohong ucapannya yakin)

Sembada temen tuhu perentah

(Sembada jujur patuh perintah)

Sun kabranang nepsu ture

(Ku emosi marah ucapannya)

Cidra si Dora iku

(Ingkar si Dora itu)

Nulya Prabu Jaka angganggit

(Lalu Prabu Jaka Menganggit)

Anggit pinurwa warna

(Anggit dibuat macam)

Sastra kalih puluh

(Sastra dua puluh)

Kinarya warga lelima

(Dibuat warga lelima)

Wit Ha-na-ca-ra-ka sak warganeki

(Dari Ha-na-ca-ra-ka itu sewarganya)

Pindho Da-ta-sa-wala

(Dua Da-ta-sa-wala)

Yeku sawarga ping tiganeki

(Yaitu sewarga ketiganya)

Pa-dha-ja-ya-nya ku suwarganya

(Pa-dha-ja-ya-nya sewargane)

Ma-ga-ba-tha-nga ping pate

(Ma-ga-ba-tha-nga keempatnya)

Iku sawarganipun

(itulah sewarganya)

Anglelima sawarganeki

(Lima-lima satu warganya)

Ran sastra sarimbangan

(Nama sastra sarimbangan)

Iku milanipun

(Itulah sebabnya)

Awit ana sastra Jawa

(Mulai ada huruf Jawa)

Wit sinungan sandhangan sawiji-wiji

(Mulai diberi harakat satu per satu)

Weneh-weneh ungelnya

(Macam-macam lafalnya)

Teks diatas mirip teks yang terdapat dalam Manikmaya jilid II (Panambangan 1981 : 385) kemudian untuk memberikan kesan yang menarik lagi bagi anak-anak yang sedang belajar aksara ha-na-ca-ra-ka, dalam Lajang Hanatkaraka jilid I dan II ( Dharmabrata, 1948:10-11 : 1949:65-66 ) dihiasi dengan gambar kisah Dora dan Sembada. Hiasan yang menggambarkan kisah kedua tokoh itu menandai lahirnya ha-na-ca-ra-ka.

Tidak dapat dipungkiri bahwa legenda Aji Saka hingga beberapa generasi mengilhami dan bahkan mengakar dalam alam pikiran masyarakat Jawa. Dikatakan oleh Suryadi ( 1995 : 74-75 ) bahwa mitologi Aji Saka masih mengisi alam pikiran abstraksi generasi muda etnik Jawa yang kini berusia tiga puluh tahun keatas. Fakta pemikiran tersebut menjadi bagian dari kerangka refleksi ketika mereka menjawab perihal asal-usul huruf Jawa yang berjumlah dua puluh.

Selain Aji Saka sebagai tokoh fiktif, nama kerajaannya yakni Medangkulan masih merupakan misteri karena secara historik sulit dibuktikan. Ketidakterikatan itu sering menimbulkan praduga dan persepsi yang bermacam-macam. Misalnya praduga yang muncul dari Daldjoeni ( 1984 : 147-148 ) yang kemudian diacu oleh Suryadi ( 1995 : 79 ) bahwa kerajaan Medangkamulan berlokasi di Blora, sezaman dengan kerajaan Prabu Baka di ( sebelah selatan ) Prambanan, yakni sekitar abad IX. Berdasarkan praduga itu, aksara Jawa ( ha-na-ca-ra-ka ) diciptakan pada sekitar abad tersebut.

Praduga Daldjoeni tentang lokasi Medangkamulan memang sesuai dengan keterangan dalam sebuah teks lontar ( Brandes, 1889a : 382-383 ) bahwa Medangkamulan terletak di sebelah timur Demak, seperti berikut :

Mangka wonten ratu saking bumi tulen, arane Prabu Kacihawas. Punika wiwitaning ratu tulen mangka jumeneng ing lurah Medangkamulan, sawetaning Demak, sakiduling warung.

Demikianlah ada raja dari tanah tulen, namanya Prabu Kacihawas. Itulah permulaan raja tulen ketika bertahta di lembah Medangkamulan, sebelah timur Demak sebelah selatan warung.

Akan tetapi , penanda tahun kelahiran ha-na-ca-ra-ka diatas berbeda dengan yang terdapat dalam Serat Momana. Dalam Serat Momana disebutkan bahwa ha-na-ca-ra-ka diciptakan oleh Aji Saka yang bergelar Prabu Girimurti pada tahun ( saka ) 1003 ( Subalidata 1994 : 3 ) atau tahun 1081 Masehi. Tahun 1003 itu dekat dengan tahun bertahtanya Aji Saka di Medangkamulan, yakni tahun 1002 yang disebutkan dalam The History of Java jilid II ( Raffles 1982 : 80 ) pada halaman yang sama dalam The History of Java itu disebutkan pula bahwa Prabu Baka bertahta di Brambanan antara tahun 900 dan 902, yakni seratus tahun sebelum Aji saka bertahta.

Sementara itu, dalam Manikmaya ( salinan Panambangan, 1981 : 295 ) disebutkan bahwa Aji Saka – dengan sebutan Abu Saka mengembara ke tanah Arab. Di negeri itu ia bersahabat dengan Nabi Muhammad ( yang hidup pada akhir abad VI – pertengahan abad VII ). Setelah pergi ke pulau Jawa, dengan sebutan Aji Saka akbibat berselisih paham dengan Nabi Muhammad ( Graff 1989 : 9 ) ia menciptakan aksara ha-na-ca-ra-ka. Penciptaan aksara itu diperkirakan pada sekitar abad VII ( sesuai dengan masa kehidupan Nabi Muhammad ) karena di dalam teks tidak disebutkan secara eksplisit.

Warsito ( dalam Ciptoprawiro, 1991 : 46 ) dalam telaah Serat Sastra Gendhing berpendanpat bahwa syair ha-na-ca-ra-ka diciptakan oleh Jnanbhadra atau Semar. Dengan demkian, saat kelahiran ha-na-ca-ra-ka sulit ditentukan karena Semar merupakan tokoh fiktif dalam pewayangan.

Pendapat lain dikemukan oleh Hadi Soetrisno ( 1941 ). Dalam bukunya yang berjudul Serat Sastra Hendra Prawata dikemukan bahwa aksara Jawa diciptakan oleh Sang Hyang Nur Cahya yang bertahta di negeri Dewani, wilayah jajahan Arab yang juga menguasai tanah Jawa. Sang Hyang Nur Cahya adalah putra Sang Hyang Sita atau Kanjeng Nabi Sis ( Hadi Soetrisno, 1941 : 6 ). Disamping aksara Jawa, Sang Hyang Nur Cahya juga menciptakan aksara Latin, Arab, Cina dan aksara-aksara yang lain. Seluruh aksara itu disebut Sastra Hendra Prawata ( Hadi Soetrisno, 1941 : 3 – 6 )

Di kemukakan pula bahwa berdasarkan bentuknya, aksara Jawa merupakan tiruan dari aksara Arab, mula-mula aksara itu berupa goresan-goresan yang mendekati bentuk persegi atau lonjong, lalu makin lama makin berkembang hingga terbentuklah aksara yang ada sekarang ( Hadi Soetrisno 1941 : 10 ). Lebih lanjut dijelaskan bahwa Aji Saka yang dianggap sebagai pencipta aksara Jawa itu sebenarnya bukan penciptanya, melainkan sebagai pembangun dan penyempurna aksara tersebut sehingga terciptalah bentuk aksara dan susunan atau carakan ( ha-na-ca-ra-ka dan seterusnya ) seperti sekarang ini ( Hadi Soetrisno, 1941 : 7 ). Terciptanya bentuk aksara dan carakan itu melibatkan kedua abdinya, Dora dan Sembada yang menemui ajalnya secara tragis.

Selian yang telah diuraikan di atas, ada dugaan bahwa kisah tragis Dora dan Sembada dalam legenda Aji Saka merupakan simbol perang saudara untuk memperebutkan tahta Majapahit. Perebutan ia mengakibatkan hancurnya kedua belah pihak, menjadi bangkai dengan ungkapan ma-ga-ba-tha-nga. Tentu saja kisah simbolik yang melahirkan aksara ha-na-ca-ra-ka itu muncul setelah hancurnya kerajaan Majapahit, antara abad XVI dan XVII ( Atmodjo, 1994 : 26 )

Dugaan lain adalah bahwa peristiwa tragis yang menimpa Dora dan Sembada merupakan simbol gerakan milenarianisme, yakni gerakan yang mengharapkan datangnya pembebasan atau ratu adil, dengan ungkapan ha-na-ca-ra-ka ( Atmojo, 1994 : 26 ). Namun kapan datangnya pembebasan dan siapa yang dimaksud dengan ratu adil, apakah Raden Patah yang berhasil naik tahta setelah Majapahit runtuh atau Sutawijaya yang mampu menyelamatkan negeri ( Pajang ) dari rongrongan Arya Penangsang ataukah tokoh lain, masih merupakan tanda tanya yang sulit untuk memperoleh jawaban secara ilmiah atau nalar.

Praduga-praduga di atas mencerminkan keragaman pendapat, keragaman itu sulit dapat timbul dari persepsi yang berbeda-beda sehingga sulit untuk menentukan persamaan waktu atas kelahiran ha-na-ca-ra-ka. Kesulitan itu dapat disebabkan oleh sifat legenda yang fiktif sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan antara sumber yang satu dan sumber yang lain, sesuai dengan kehendak pengarang atau penulis masing-masing. Perbedaan praduga pertama ( Daldjoeni ) dengan praduga kedua ( dalam Serat Momana ) dan praduga ketiga ( dalam The History of Java ) misalnya terletakpada selisih waktu dua abad, sedangkan praduga kedua dengan praduga ketiga hanya mempunyai selisih satu tahun. Perbedaaan ketiga praduga tersebut akan lebih beragam jika menyertakan perkiraan hidup Aji Saka dalam Manikmaya, pendapat Warsito dan Hadi Soetrisno serta kisah-kisah simbolik di atas. Selain itu masih terbuka kemungkinan yang dapat menimbulkan perbedaan yang berasal dari teks-teks lain yang belum sempat diungkapkan di sini, termasuk misteri pencipta aksara tersebut.

Konsepsi secara Ilmiah

Kelahiran pada perkembangan aksara Jawa erat hubungannya dengan kelahiran dan perkembangan bahasa Jawa. Secara alami, mula-mula bahasa Jawa lahir sebagai alat komunikasi lisan pemakainya. Bahasa Jawa yang dilisankan itu, seperti bahasa ragam lisan pada umumnya, terikat oleh waktu dan tempat ( lihat Molen, 1985 : 3 ) untuk melepaskan diri dari keterikatannya, sesuai dengan pola pikir pemakainya dan sejalan dengan tantangan zaman akibat pengaruh lingkungan serta perkembangan ilmu dan teknologi, sarana yang nyata dan kekal, berupa aksara diciptakan. Aksara yang dipakai etnik Jawa muncul pertama kali setelah orang-orang India datang ke pulau Jawa. Diperkirakan bahwa sebelum itu etnik Jawa belum mempunyai aksara ( Poerbatjaraka, 1952 : vii ) sehingga masih berlaku tradisi kelisanan. Dengan munculnya aksara, mulailah tradisi keberaksaraan untuk menciptakan bahasa ragam tulis, meskipun tradisi kelisanan tetap berlangsung.

Hasil teknologi baru yang berupa tulisan memang memainkan peranan yangamat penting dalam sejarah manusia, dalam kehidupan sehari-hari di bidang ilmu pengetahuan, politik dan sebagainya. Ada perbedaan mendasar antara peradaban yang tanpa tulisan dan peradaban yang mempunyai tulisan ( Molen, 1985 : 3 ) peradaban yang mempunyai tulisan setidaknya mempunyai kelebihan setingkat lebih maju daridapa peradaban tanpa tulisan.

Dalam sejarah peradaban etnik Jawa, atas dasar data arkeologis, tulisan tertua yang ditemukan dalam bentuk prasasti dengan menggunakan aksara Pallawa menunjukkan penanda waktu sebelum tahun 700 Masehi ( Casparis, 1975 : 29 ) jauh sesudah bahasa Jawa yang tertua dugunakan secara lisan. Setelah ditemukan beberapa prasasti yang lain, secara berangsur-angsur dilakukan studi paleografi. Dari beberapa prasasti yang dijadikan bahan studi, diperoleh hasil deskripsi yang menggembirakan ( lihat Molen 1985 : 4 ). Namun hingga kini masih sedikit jumlah karya tulis yang membicarakan paleografi Jawa. Karya tulis tentang paleografi Jawa baru dimulai pada awal abad XIX, seperti yang dilakukan oleh Raffles ( 1871 ) Stuart ( 1863 ) dan Keyzer ( 1863 ). Hanya sayang bahwa contoh aksara yang ditampilkan menurut Stuart ( 1864 : 169 – 173 ) lihat Molen, 1985 : 4 ) bukan jiplakan yang asli, melainkan aksara Jawa baru yang dituliskan dengan bentuk dan gaya aksara Jawa kuna, contohnya : dibawah ini dikutipkan dari The History of Java Jilid I, karya Raffles ( 1982 : 370 )

Ada juga Ajaran filsafat hidup berdasarkan aksara Jawa yang sebagai berikut :

Ha-Na-Ca-Ra-Ka berarti ada ” utusan ” yakni utusan hidup, berupa nafas yang berkewajiban menyatukan jiwa dengan jasat manusia. Maksudnya ada yang mempercayakan, ada yang dipercaya dan ada yang dipercaya untuk bekerja. Ketiga unsur itu adalah Tuhan, manusia dan kewajiban manusia ( sebagai ciptaan )

Da-Ta-Sa-Wa-La berarti manusia setelah diciptakan sampai dengan data ” saatnya ( dipanggil ) ” tidak boleh sawala ” mengelak ” manusia ( dengan segala atributnya ) harus bersedia melaksanakan, menerima dan menjalankan kehendak Tuhan

Pa-Dha-Ja-Ya-Nya berarti menyatunya zat pemberi hidup ( Khalik ) dengan yang diberi hidup ( makhluk ). Maksdunya padha ” sama ” atau sesuai, jumbuh, cocok ” tunggal batin yang tercermin dalam perbuatan berdasarkan keluhuran dan keutamaan. Jaya itu ” menang, unggul ” sungguh-sungguh dan bukan menang-menangan ” sekedar menang ” atau menang tidak sportif.

Ma-Ga-Ba-Tha-Nga berarti menerima segala yang diperintahkan dan yang dilarang oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Maksudnya manusia harus pasrah, sumarah pada garis kodrat, meskipun manusia diberi hak untuk mewiradat, berusaha untuk menanggulanginya.


Uraian empat jurus HANACARAKA
Keempat jurus Hanacaraka sebenarnya menyiratkan 4 tingkat alam kehidupan alam semesta yang tidak terbatas hanya kepada insan manusia diatas bumi ini.

Secara ringkas / garis besarnya:
1.Hanacaraka – menyiratkan dasar kesunyataan alam semesta pada tingkat yang tertinggi (mendasar). “ADA’-nya Cipta, Rasa dan Karsa sebagai sumber Kekuasaan yang tertinggi. Alam Tritunggal (Ca, Ra, Ka) yang Maha Kuasa.
2.Datasawala – menyiratkan alam kehidupan pada tingkat Monad, Logos. (Atma?) yang berada diluar dimensi ruang dan waktu. Ke-Maha-Kuasa-an yang didasari oleh Cipta, Rasa dan Karsa yang ada pada setiap Logos / Monad mulai dilengkapi dengan ‘kehendak’ / ‘niat’ yang melahirkan “Ingsun”.
3.Padhajayanya – menyiratkan alam kehidupan yang merupakan ‘manifestasi’ dari ‘kehendak’ / ‘niat’ dari jajaran Ingsun (Higher Selves) kedalam alam yang multi dimensi melalui proses evolusi alam semesta beserta seluruh penghuninya. Disini terciptalah dimensi ruang dan waktu serta timbulnya ‘perbedaan’ (dualisme) antara ingsun dan Ingsun (kawula lan Gusti)
4.Magabathanga – menyiratkan alam kehidupan dimana ingsun dengan bimbingan Ingsun (Guru Sejati) dan bantuan Bayu Sejati (bayangan kuasa Allah) melaksanakan ‘misi’nya (karsa) yang timbul dari ‘niat’ untuk ‘meracut’ busana manusia dialam fisik (alam kematian / tidak kekal). Alam jiwa dan raga.

Dengan meng-kaji keempat jurus diatas secara bolak balik dan berulang ulang, saya ‘mendapatkan’ pengertian tentang apa ‘misi’ kita sebenarnya dengan ‘turun’-nya kita ke dunia ini. Pengertian ini belum pernah terpikirkan oleh saya sebelumnya, dan juga belum pernah saya dapatkan dari ‘ajaran ajaran’ lain yang pernah saya ketahui. (Lihat MISI – Karsa manusia didunia ini.)

HANACARAKA – Dasar kesunyataan
Ha-na-ca-ra-ka: Hana (ada) Ca, Ra, Ka (Cipta, Rasa, Karsa).

HaHuripku Cahyaning Allah. Hidup(ku) adalah cahaya Allah dimana Allah adalah sumber dari cahaya / kehidupan alam semesta. Lain dari definisi ‘hidup’ yang kita kenal selama ini, seluruh alam semesta sebenarnya penuh dengan kehidupan, mulai dari particle atom yang terkecil sampai kepada seluruh planet, bintang dan Galaxi beserta seluruh penghuninya, baik yang berada dalam dimensi kita, maupun dimensi dimensi lainnya yang tidak kita kenal/ketahui.

Na Nur hurip cahya wewayangan. Nur hidup adalah cahaya yang membayang.
Terpengaruh oleh perlambang dalam permainan wayang, semula saya berkesan bahwa Allah adalah sumber cahaya kehidupan, Nur adalah cahaya yang membayang dan Caraka adalah wayangnya. Dalam konteks tersebut kita akan segera menganggap Caraka (utusan) sebagai Ingsun serta bayangan dilayar adalah ingsun (bayangan dari Ingsun).

Namun setelah saya renungkan kembali, ternyata jurus Hanacaraka ini menyiratkan dasar kesunyataan alam semesta yang berada dua tingkat diatas alam Ingsun. Ingsun baru muncul pada alam ketiga – Padhajayanya. (Maaf kalau pengertian saya tentang kata “Ingsun” mungkin kurang tepat.)

Baik dalam pengertian pertama maupun kedua, sebenarnya bisa kita simak rahasia penciptaan alam semesta yang mempunyai tiga aspek yang manunggal (Tritunggal). Dalam pengertian yang pertama, Ha, Na dan Caraka adalah ketiga aspek tersebut, sedangkan dalam pengertian kedua Caraka sendiri juga mengandung ketiga aspek yang sama yakni Cipta, Rasa dan Karsa.

Ca
Cipta rasa karsa kwasa.
Tritunggal Cipta, Rasa dan Karsa adalah aspek aspek yang mendasari kwasa / kekuasaan yang tertinggi (Maha Kuasa) diseluruh alam semesta.

RaRasa kwasa tetunggaling pangreh.
Aspek Rasa (Rahsa sejati) yang terkandung didalam Tritunggal diatas merupakan aspek kendali dalam kekuasaan yang Maha Tinggi tersebut.

KaKarsa kwasa kang tanpa karsa lan niat.
Karsa, hasil ataupun ‘wujud’ dari Tritunggal diatas adalah kwasa / ke-Maha-Kuasa-an yang masih murni, yang belum diwarnai oleh keinginan ataupun kehendak.

Manifestasi dari Tritunggal (Caraka, utusan Allah) yang Maha Kuasa tersebut diatas terjelma / terjadi didalam alam Datasawala yang penuh dengan jajaran Monads, Logos dll. yang berkuasa penuh dalam alam manifestasinya masing masing.

DATASAWALA – Alam Monad / Logos (Atma?)

Da-ta-sa-wa-la menyiratkan alam kehidupan pada tingkatan Logos, (Solar / Planetary Logos) dan Monad / Atman. Pengalaman pribadi yang saya alami di bulan Agustus 1997 yang lalu memberikan gambaran tentang alam ini, dimana kesadaran saya terlebur dalam sebuah ‘bola cahaya’, atau lebih tepatnya (karena tak ingat bentuk, pinggiran/batasannya), semacam awan yang mula mula berwarna kelabu dan semakin lama semakin cemerlang.

Juga dialami adanya Rahsa kebahagiaan dan kebebasan yang tiada taranya (sempurna / perfect bliss) serta semacam ‘kesadaran’ tanpa menyadari siapa yang sadar, atas hubungan (inter-connected-ness) diantara ‘segalanya’, termasuk batuan, tumbuhan, hewan serta raga raga manusia walaupun tanpa ‘bentuk’ yang nyata maupun tenggang masa (diluar dimensi ruang dan waktu)

Semula saya mengira bahwa awan cemerlang tersebut adalah segalanya dalam alam semesta ini (ALL THAT IS), namun dari membaca berbagai literature seperti “The RA Material”, “The Only Planet of Choice” dll, saya menganggap bahwa apa yang saya alami mungkin baru mencapai tingkat Monadic atau Atman dan belum sampai kepada kemanunggalan yang tertinggi.

Meminjam istilah RA, yang menyebutnya sebagai “Social Memory Complex”, awan cemerlang tersebut merupakan kesatuan dari berjuta-juta Ingsun (Higher Self) yang ber-evolusi bersama-sama.

“The Only Planet of Choice” menyebutkan adanya 24 “Civilization” utama dengan beratus/ribu sub-civilisations seperti misalnya Atlantean (Atlantis dan Lemuria) yang tergabung dalam “Altean Civilization”. Dalam Al-kitab, 24 Civilization ini disebutkan sebagai 24 tua tua yang duduk disamping Tuhan. (mungkin di Wahyu / Revelation namun entah ayat yang mana)

Ternyata hal hal diatas sudah tersirat dalam rumusan Datasawala secara jelas:

DaDumadi kang kinarti
Tumitah/menjadi ada/terjadi dengan membawa maksud, rencana dan makna sebagai Karsa (‘hasil’/’wujud’) dari Tritunggal (Caraka) diatas.

TaTetep jumeneng ing dzat kang tanpa niat.
Tetap berada dalam dzat (Nur hidup cahaya yang membayang) diluar dimensi ruang dan waktu serta masih murni, belum diwarnai oleh kehendak atau niat, walaupun sudah membawa maksud, rencana dan maknanya masing masing.

Sa Sifat hana kang tanpa wiwit.
Sifatnya ‘ada’ namun tanpa asal usul. Kekal, berada diluar dimensi waktu dimana tidak ada perbedaan antara waktu lalu, sekarang maupun yang akan datang.

WaWujud hana tan kena kinira.
Wujudnya ‘ada’ namun tak berbentuk. Manunggal, berada diluar dimensi ruang dimana tak ada perbedaan antara sini atau sana, dekat atau jauh, atas atau bawah, depan atau belakang.

La Lali eling wewatesane.
Lupa ingat adalah batasannya. Tersirat dalam kalimat tiga kata diatas adalah terjelmanya free-will, niat, kehendak yang bebas, hanya dengan batasan ‘ingat’ ataupun ‘lupa’ akan maksud, rencana dan makna yang sudah digariskan semula sesuai Karsa Tritunggal diatas.

Dengan timbulnya ‘kehendak bebas’ maka ‘adalah’ / terjadilah Ingsun (Higher Self / Guru Sejati) yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Atman. Setiap Ingsun dilengkapi oleh ‘kehendak’ / niat sesuai dengan karsa, maksud, rencana dan maknanya masing masing.

Manifestasi dari kehendak yang sesuai dengan karsa menciptakan alam ketiga, alam Ingsun yang tersirat dalam rumusan Padhajayanya.

PADHAJAYANYAAlam Ingsun dan ingsun
Pa-dha-ja-ya-nya menyiratkan terciptanya dimensi ruang dan waktu. Dengan adanya dimensi ruang terjadi pula ‘perbedaan’ antara Ingsun dan ingsun. Dan dengan adanya waktu terjadi pula proses evolusi.

Disini tersirat pula hakikat ingsun yang masih bersatu dengan sang Ingsun. Adanya ‘Rasa’ membuat semuanya ‘nyata’ tanpa melihatnya dengan mata, dan semuanya bisa dimengerti walaupun tanpa diajari. Namun demikian dalam alam ini ‘rasa’ yang ada belum dapat diwujudkan.

Per‘wujud’an (karsa) dari rasa tersebut baru ter-manifestasi-kan dalam alam berikutnya.

PaPapan kang tanpa kiblat. Papan tak berkiblat.
Kata kata “papan” dan “kiblat” menyiratkan adanya dimensi ruang yang baru pertama kali disebutkan dalam tingkat Padhajayanya. Dihubungkan dengan teori ilmu fisika alam, dalam kalimat ini tersirat terjadinya “Big Bang”. Perlu ditambahkan bahwa masih banyak dimensi dimensi lain diluar ketiga dimensi ruang yang kita kenal.

DhaDhuwur wekasane endhek wiwitane. Tinggi/luhur pada akhirnya, rendah pada awalnya.
Terciptanya dimensi ruang segera disusul dengan terciptanya dimensi waktu. Dan dalam kalimat sederhana diatas tersirat pula adanya proses ‘evolusi’ dalam ‘waktu’ yang bermula dari kesederhanaan.

JaJumbuhing kawula lan Gusti. Bersatunya antara hamba dan Tuannya.
Dengan terjadinya dimensi ruang terjadi pula ‘perbedaan’ antara kawula dan Gusti walaupun masih berada dalam kesatuan.

YaYen rumangsa tanpa karsa.
Adanya Rasa namun masih belum dilengkapi dengan karsa. (belum dapat di’wujud’kan).

NyaNyata tanpa mata ngerti tanpa diwuruki.
Dengan adanya Rasa semuanya di-’rasa’-kan nyata walaupun tanpa melihat dengan mata, dan semuanya bisa mengerti walaupun tanpa diajari.

Kedua kalimat terakhir diatas menggambarkan hakikat ingsun yang masih bersatu dengan sang Ingsun. Dalam alam Padhajayanya yang berdimensi waktu, baik Ingsun maupun ingsun mengalami proses evolusi.

Ingsun sebagai bagian tak terpisahkan dari Monad-nya di alam Datasawala, ber-evolusi di alam Padhajayanya dalam rangka manifestasi dari ‘kehendak’ (niat) yang ada padanya sesuai Karsa yang telah digariskan. Tergantung dari tahapan evolusi yang dicapai, Ingsun dapat merupakan ‘kumpulan’ dari ingsun ingsun yang tak terbilang banyaknya, dimana jajaran ingsun tersebut juga ber-evolusi dari hasil pengalamannya ber-karsa di alam Magabathanga.

MAGABATHANGA Alam jiwa dan raga

Ma-ga-ba-tha-nga menyiratkan alam jiwa dan raga, dimana ingsun ber’karsa’ dengan cara ber- re-inkarnasi berulang kali, untuk ‘hidup’ di alam ‘kematian’.

Dalam rangka me’wujud’kan rasa dengan ber’karsa’ dialam kematian, ingsun dibimbing oleh sang Ingsun (Guru Sejati) dan dibantu oleh Bayu Sejati yang merupakan bayangan dari kekuasaan yang tertinggi.

Karsa yang dilaksanakan dengan hidup di alam kematian adalah memberikan ‘hidup’ kepada unsur unsur yang ada (tanah, air, udara dan api) serta meracutnya sedemikian rupa sesuai dengan rasa yang hendak di-karsa-kan (diwujudkan).

MaMati bisa bali. Mati bisa kembali.
Dalam hal ini, ingsun yang memasuki alam kematian memberikan ‘hidup’ kepada unsur unsur yang ada, akan kembali kealam kehidupan.

GaGuru Sejati kang muruki
Dalam rangka ber-‘karsa’, ingsun dibimbing oleh Ingsun (Guru Sejati)

Ba Bayu Sejati kang andalani
Bayu Sejati yang merupakan bayangan kekuasaan yang maha tinggi merupakan bantuan yang dapat diandalkan dalam ber-karsa.

ThaThukul saka niat.
Karsa yang dilakukan dengan masuknya ingsun ke alam kematian timbul dari niat / kehendak yang luhur, yang timbul pada saat ‘lahirnya’ Ingsun sebagai bagian dari Monad di alam Datasawala.

Nga
Ngracut busananing manugsa
Meracut busana manusia ternyata adalah ‘misi’ utama dari ingsun yang menjelma sebagai manusia.
MISI – Karsa manusia di dunia ini.

Dari meng-kaji keempat jurus Hanacaraka secara bolak balik secara berulang kali selama dua minggu, pada akhirnya saya mendapatkan suatu gambaran tentang apa yang terjadi di alam semesta ini, dan apa sebenarnya ‘misi’ kita menjelma menjadi manusia secara berulang kali. Hal mana terjadi ketika saya mencoba menelusuri Hanacaraka dari bawah keatas, dari Nga sampai kepada Da dan secara tiba tiba teringat akan ajaran agama Hindu tentang Trimurti (Brahma, Wishnu dan Shiva) serta istilah Theosophy – The First, Second and Third Outpourings dalam buku “Man visible and invisible” yang menerangkan proses evolusi.

Gabungan agama Hindu, Theosophy dan Hanacaraka di jurus Datasawala, secara tiba tiba membuka suatu wawasan yang sama sekali baru bagi saya.

Jurus Datasawala diatas menyiratkan alam pada tingkat Logos dan Monad yang memanifestasikan kehendaknya di alam Padhajayanya melewati proses evolusi. Menurut ajaran Theosophy evolusi alam terjadi dalam tiga tahapan. The First Outpouring menciptakan alam elemental (mulai dari energy yang berevolusi sampai kepada unsur unsur kimia yang ada), The Second Outpouring memberikan bentuk kepada elemen elemen tersebut mulai dari terbentuknya bintang dan planet sampai kepada hewan. (Mineral, Vegetation and Animal Kingdoms), dan The Third Outpouring memberikan esensi ke-Allah-an yang akan mendorong evolusi dari Animal Kingdom melalui Manusia kembali ke Tuhan/Allah.
Disini juga terlihat analogy dengan Trimurti dari ajaran Hindu dimana Dewa Brahma (Pencipta) analog dengan The First Outpouring. Dewa Wishnu (Pemelihara) analog dengan The Second Outpouring dan Dewa Shiwa (Perusak) analog dengan The Third Outpouring yang merusak/merubah untuk mendorong terjadinya evolusi.

Kembali ke Hanacaraka dari atas ke bawah, dari Ha sampai ke Nga, terlihat jelas bahwa “Ngracut busananing manugsa” adalah misi ingsun dan Ingsun untuk berpartisipasi dalam proses evolusi di bumi ini sebagai bagian dari The Third Outpouring.

Dihubungkan dengan ajaran S9, misi untuk meracut busana manusia ini adalah sama dengan mengajak dan mendorong saudara saudara kita yang 9 untuk ber-evolusi. Saudara saudara kita tersebut sebenarnya merupakan bagian dari planetary logos bumi ini (Gaia) yang merupakan sub-logos dari Solar Logos yang mempunyai ‘acara’nya sendiri dalam memanifestasikan Cipta, Rasa, Karsa yang ada padanya. Kita adalah ‘tamu’ yang datang untuk membantu.
Cerita tentang benua Atlantis yang tenggelam (hancur) menimbulkan pemikiran bahwa mungkin perkembangan evolusi yang terjadi pada saat itu telah menyimpang dari jalur evolusi yang sudah digariskan sebelumnya oleh Solar Logos dan kehendaki oleh Gaia.

Apakah perjalanan misi kita, manusia saat ini, masih sesuai dengan jalur evolusi Gaia yang telah digariskan?
Silahkan melanjutkan renungan ini.

posted under |

1 komentar:

Pelet Bulu perindu mengatakan...

jadi tambah pengetahuan http://bulprin1.blogspot.co.id/

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

Total Pageviews

Cari Blog Ini

pesan admin

butir butir waktu tidak bisa di hentikan, tahun tahun berlaku entah kita menginginkanya atau tidak... tapi kita bisa mengingat. apa yang telah hilang mungkin masih hidup dalam kenangan, apa yang kita dengar tidak sesempurna dan sepotong potong, tapi hargailah. mari kita bukalah kenangan yang telah terlupakan itu. yang tersembunyi dalam kabut mimpi yang berada di belakang kita...!!!

Author

Foto Saya
MysteRIO bizarre
Lihat profil lengkapku

    Recent Post

    .-.
    -
    .
    Diberdayakan oleh Blogger.

    Blogger Tricks

    Islamic Calendar

    free counters

    Followers

      Postingan Populer


    Recent Comments